
Polemik seputar ada tidaknya praktek riba dalam Bank Syariah tidak kunjung selesai. Walau berbagai upaya telah dilakukan baik dengan pembentukan Dewan Syariah, perubahan regulasi demi regulasi, dan lain sebagainya, tetap saja Bank syari’ah dianggap belum syar’i. Namun tulisan berikut ini dari akun Facebook Don Anwaro menarik untuk dicermati. Beliau melihat Bank syari’ah dari perspektif yang dapat menambah wawasan kita dalam diskusi tentang Bank Syariah ini.
Beliau menulis:
Sejauh ini saya sudah membaca dua komplain dari Nasabah Bank Aceh Syariah terkait dengan ketidakmampuan nasabah membayar pinjaman. Kedua nasabah yang notabene PNS tersebut menganggap Bank milik Pemda Provinsi dan Kabupaten di Aceh tersebut melaksanakan praktek lintah darat dan riba. Nasabah yang meminjam dana sebesar Rp. 100 jt tersebut merasa diperlakukan tidak fair karena dalam kurun waktu 10 tahun secara keseluruhan harus menyetor dana sebesar 187 jt atau 87% lebih besar dari dana awal yang dipinjam.
Saya secara pribadi merasa terganggu dengan pelabelan Bank Aceh Syariah sebagai lintah darat dan pemakan riba. Karena sejak ditetapkan sebagai Bank Syariah, saya berkeyakinan Bank Aceh Syariah sudah menjalankan operasi dengan berpedoman pada syariat Islam. Pelaksanaan operasionalnya juga diawasi oleh Dewan Syariah yang tentunya telah memiliki kualifikasi untuk menentukan apakah praktek yang dilakukan memiliki unsur riba atau tidak.
Banyak orang berkesimpulan bahwa Bank mempraktekkan riba dikarenakan Bank meminta kelebihan pembayaran dari dari pinjaman awal (selanjutnya disebut bunga). Terkait dengan apakah bunga termasuk riba atau bukan sudah menjadi perdebatan sejak lama. Terkait dengan hal ini saya sendiri sudah membaca pendapat Mahmud Saltut (Mantan Rektor Al Azhar) yang berpendapat bunga bank tidak termasuk riba dan Yusuf Qardhawi yang berpendapat sebaliknya. Kedua ulama Al-Azhar tersebut masing-masing memiliki dhalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya.
Walaupun sudah membaca pendapat ulama terkait pelabelan riba untuk bunga Bank, saya merasa tidak memiliki kualifikasi untuk membahas bunga Bank dari sisi syariat. Tapi sebagai akademisi yang melakukan kajian bidang keuangan saya berkeyakinan bahwa bunga yang ditetapkan oleh Bank adalah pantas secara etika dan ekonomi sejauh tingkat bunga yang dikenakan wajar.
Setiap rupiah yang dipinjamkan oleh siapapun termasuk oleh dermawan, investor, penabung, dan lembaga perbankan memiliki biaya yang harus ditanggung. Karena uang memiliki nilai waktu. Terkait dengan transaksi perbankan, nilai waktu ini muncul setidaknya dari 3 sumber; (1) inflasi; (2) resiko gagal bayar; (3) biaya operasional; dan (4) biaya kesepakatan yang hilang atau sering disebut opportunity cost. Saya akan coba bahas kaitan ketiga biaya tersebut dengan bunga yang dikenakan Bank satu per satu.
Yang pertama kaitan bunga Bank dengan inflasi. Indonesia yang termasuk negara emerging market baru beberapa tahun terakhir mampu menekan inflasi pada kisaran 3%. Sebelumnya tingkat inflasi Indonesia berada pada kisaran 5%-10%. Dengan demikian dalam kurun satu tahun daya beli dari uang yang dimiliki tiap orang di Indonesia mengalami penurunan sebesar 5%-10%. Dari itu bukankah pantas jika orang yang meminjam uang di awal tahun, selanjutnya membayar pokok pinjaman dengan menambah 5%-10% biaya penurunan daya beli dari uang tersebut.
Kedua, kaitan bunga bank dengan resiko gagal bayar. Bagi saudara-saudara yang berpengalaman meminjamkan uang tentu sudah tahu bahwa tidak semua orang yang meminjam uang mampu mengendalikan uang pinjaman nya secara keseluruhan pada waktu yang dijanjikan. Bagi Bank, hal seperti ini sudah menjadi bagian dari resiko bisnis yang sering disebut Non Performing Loan (NPL). Di Indonesia NPL di atas 5% sudah dikatagorikan kurang sehat. Tapi pada kenyataannya tidak sedikit Bank yang memiliki jumlah NPL lebih dari 5%. Dalam kasus nasabah tidak mampu membayar pinjaman, maka Bank akan menyita aset yang dijaminkan. Namun tidak tertutup kemungkinan aset yang dijaminkan juga tidak mampu menutup seluruh kekurangan setoran nasabah. Untuk mengantisipasi hal ini Bank harus memudahkan resiko ke pihak yang bersedia. Dalam hal ini tentu Bank akan mengeluarkan tambahan biaya. Tentunya biaya tersebut akan dipindahkan ke peminjam yang terakumulasi dalam bunga pinjaman dan biaya administrasi lainnya.
Selanjutnya Bank tentu dalam melakukan operasi membutuhkan biaya operasional termasuk untuk gaji karyawan, biaya administrasi dan umum serta biaya operasional lainnya. Tentunya biaya ini juga perlu dipertimbangkan. Untuk zakat sendiri ada hak Amil yang mencapai 2,5%.
Selanjutnya Bank menanggung biaya kesempatan yang hilang. Biaya ini muncul dari adanya pilihan-pilihan dalam alokasi dana yang telah dikumpulkan oleh Bank. Saat Bank bersedia memberikan pinjaman ke seseorang, Bank kehilangan kesempatan untuk melakukan investasi pada prospek lain. Besarnya biaya yang ditanggung adalah sebanding dengan keuntungan alternatif. Maka adalah pantas jika Bank menuntut pembagian keuntungan dari biaya oportunitas yang bersedia ditanggung. Keuntungan ini sendiri nantinya juga akan dibagikan kepada para penabung. Besarnya biaya oportunitas ini beragam tergantung sektor yang dibiayai.
Dari biaya inflasi, resiko gagal bayar, biaya operasional dan biaya oportunitas, Bank di Indonesia setidaknya sudah menanggung biaya lebih kurang 7,5%-14%. Tentunya sebagai entitas bisnis yang berusaha mencari keuntungan, Bank akan menggeser biaya tersebut pihak peminjam yang sebelumnya telah mengambil manfaat dari dana yang pinjamkan. Bentuknya adalah pengenaan bunga. Dari uraian tersebut saya menganggap bunga Bank tersebut tidak sama dengan kelebihan bayar dari pokok pinjaman, melainkan penyeimbangan atas biaya yang ditanggung oleh Bank disebabkan adanya nilai waktu dari uang. Selanjutnya pembaca silakan membandingkan sendiri konsep bunga dengan riba qardh yang sering dikaitkan dengan transaksi pinjaman perbankan.
Jika kita analisis kasus nasabah Bank Aceh di atas, maka kita dapat menghitung bunga yang dikenakan oleh Bank Aceh per tahun lebih kurang 8,7%. Besaran bunga tersebut menurut saya masih wajar. Karena masih berada pada kisaran biaya yang ditanggung Bank secara umum sebagaimana yang saya uraikan di atas. Bank baru dapat dikatakan menganiaya saat bunga yang ditetapkan melebihi batas wajar. Misalnya saat Bank menetapkan bunga di atas rata-rata pengembalian investasi dalam bentuk penyertaan modal (ekuitas) di mana investor sepenuhnya hanya dapat mengharapkan pengembalian investasi dari keuntungan usaha yang dijalankan dan berpotensi kehilangan keseluruhan uang jika investasi tersebut gagal. Sebagai gambaran tingkat keuntungan rata investor yang bijaksana seperti Warren Buffett adalah 20% per tahun. Jika Bank menetapkan bunga secara rata-rata di atas angka tersebut maka Bank yang bersangkutan menurut saya sudah tidak memiliki etika bisnis karena menetapkan pengembalian di atas biaya yang ditanggung.
Dalam kasus Bank Aceh Syariah, saya merasa Bank telah menetapkan bunga dalam batas wajar. Jika selanjutnya banyak nasabah yang kelabakan dalam membayar cicilan Bank, maka itu umumnya terjadi karena kapasitas keuangan yang bersangkutan memang rendah untuk meminjam uang sejumlah yang diajukan. Yang harusnya dilakukan bukannya menyalahkan Bank, melainkan membatasi diri untuk bijak dalam mengelola uang. Menjaga agar tidak besar pasak daripada tiang.
Komentar Terbaru