Sumber: Facebook post Tabibadi
Christoffel berhasil menculik salah seorang istri Sultan, yaitu Pocut Putrue (26 November 1902). Dia dibawa ke Sigli dari situ ke Uleulhue. Peristiwa tersebut didahuluioleh serangan pasukan kapten Belanda Kramers terhadap markas Sultan Muhammad Daud Syah di hulu Pante Raja,Pidie.
Sultan lolos. Sementara itu, disiarkan oleh pihak Aceh bahwa Sultan sendiri memperoleh luka-luka dan tidak lama meninggal dunia.
Sebuah kuburan di pedalaman itu disiarkan orang sebagai makam Sultan. Namun gubernur van Heutsz yang cerdik orangnya, mendengar berita itu tidak mempercayainya, bahkan justru karena itu emosinya meningkat, sehingga mendorongnya untuk mencari Sultan sampai ke mana juga di bagian pedalaman.
Sekitar 25 Desember 1902, pasukan Belanda di bawah pimpinan mayor van der Maaten melancarkan kegiatan mencari seorang lagi permaisuri Sultan, yaitu Pocut Murong di sekitar kompleks kampung Lamlo Peureula’. Belanda berhasil memergokinya. Dengan demikian Belanda sudah menyandra 2 permaisuri Sultan dan seluruh keluarganya, termasuk putera Sultan yang masih di bawah umur, Tuanku Ibrahim.
Van Heutsz mengumumkan bahwa semua
keluarga yang menjadi tangkapannya itu tidak akan dibunuh seandainya Sultan sendiri datang melapor dan menyerah diri sebagai
penebusnya.Tiada pilihan bagi Sultan selain mengorbankan diri sendiri demi keselamatan kedua permaisuri dan putranya dalam
menghadapi cara Belanda berperang yang menggunakan “prinsip”Machiavellianisme bahwa untuk mencapai setiap keberhasilan
segala jalan yang tidak wajar bahkan tidak berperikemanusiaan sekali pun bolehditempuh.
Van Heutsz dengan keahlian sebagai pemimpin penyandra itu berhasil mencapai tujuannya. Sumber Belanda mengatakan, tanggal 6 Januari 1903, di situlah Sultan menetapkan hati untuk mengirim surat pada van Heutsz bahwa ia bersedia menyerah, untuk mana ia menginginkan diberlakukan upacara terhormat untuknya. Besoknya, sebuah kapal perang “Sibolga” datang menuju Sigli, di mana turut Tuanku Mahmud, bekas wali Sultan, Tuanku .
Husin, Tuanku Ibrahim, puteranya, dua kepala Sagi XXV dan XXVI Mukim.
Tanggal 8 Januari mereka tiba di Sigli ketika itu sudah menunggu raja Pidie, Samalanga dan Meureudu. Sultan lalu dijemput ke desa Arusan, Ie Leubeue. Sabtu 10 Januari Sultan tiba di Sigli, disambut oleh mayor van der Maaten dan para perwiranya.
Tanggal 13 Januari Sultan, Pocut Murong, Tuanku Ibrahim dan anggota rombongan sebanyak 175 orang dibawa ke kapal perang
“Sumbawa” menuju Uleulhue. Dari sini ia naik kereta api menuju Kutaraja (Banda Aceh). Turun dari situ menuju Kampung Keudah,
untuk mendiami sebuah rumah yang sudah disediakan lebih dulu.
Demikianlah, tanggal 15 Januari berlangsung upacara penyerahan diri Tuanku Muhammad Daud Syah, yang oleh Belanda sejak awal hanya disebut berstatus “pretendent” ini telah diminta supaya menandatangani suatu pengakuan yang sudah disiapkan lebih dulu dalam mana disebut bahwa Aceh adalah menjadi bagian Hindia Belanda, dan ia berada dalam pengawalan gubernur van Heutsz.
Dikatakan bahwa sejak itu Tuanku disebut beroleh tunjangan f. 1000.- sebulan. ;
Ditetapkan oleh gubernur bahwa putera Sultan, Tuanku Ibrahim yang usianya 14 tahun sudah, dibawa ke Jakarta, di sana di”didik” sesuai dengan kedudukannya sebagai putera Sultan.
Catatan ini adalah semata-mata menurut sumber Belanda, sedangkan sebaliknya sumber Indonesia mengatakan bahwa Sultan tidak ada menandatangani pengakuan bahwa Aceh sudah takluk dan sekaligus disebut menjadi bagian “Hindia Belanda.”
Dapat
dicatat pula bahwa Belanda tidak pernah membuktikan adanya penandatanganan itu. Seandainya sesuatu surat pengakuan Sultan
dimaksud ada, tentu dengan mudah Belanda dapat memamerkan orisinilnya atau klisenya, sehingga bisa terbukti apa yang sudah
disebut-sebut dalam surat pengakuan penyerahan diri tersebut.
Antara lain lihat naskah Teuku Syahbuddin Razi Pasenu berjudul Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah U dalam “Seminar Perjuangan Aceh. Sejak 1873
sampai dengan Kemerdekaan Indonesia,” Medan 23/2
Komentar Terbaru