“Ada ide bisnis menarik g?”, tanya salah seorang teman baik saya melalui salah satu aplikasi chatting. Kami sering bekerjasama dulu, dari tahun 2008. Ketika itu kerjasama kami dalam hal pembuatan website dan software. Tidak banyak penyedia servis ini ketika itu, jadi kami bisa dapat beberapa pelanggan dengan gampang. Jika saya punya kerjaan yang cukup besar, dia pasti saya ajak. Pernah satu hari dia punya jaringan bagus, dia ajak saya memimpin projectnya. Padahal dia punya skkill programing yang baik, sedangkan saya cuma paham sedikit drupal, joomla, dan wordpress.

Sekarang dia bekerja di perusahaan startup, sebagai programmer. Sedangkan saya melanjutkan kuliah S2 ke Thailand dan S3 ke Taiwan. Dibidang Bisnis Administrasi. Saya harus keluar dari pekerjaan saya di salah satu LSM lokal, setelah lebih dari 10 tahun bekerja didunia ini. Belakangan saya baru sadar LSM lokal di Aceh ini nama kerennya Social Enterprise, bukan NGO. Bisnis membuat website juga perlahan mulai menurun, sama dengan bisnis videografi, tetapi tidak drastis. Kadangkala saya masih punya satu dua klien yang mempercayakan projectnya. Saya dari dulu memang sudah terlibat dalam mengelola bisnis. Dari SD menolong orang tua jualan di kedai kelontong keluarga, berjualan baju di kaki lima di pasar, membantu pendirian TK keluarga, dan menjalankan bisnis digital marketing saya sendiri dibawah perusahaan CV. DIGMA.

Ketika ditanyakan “apakah ada ide bisnis”?, saya sangat senang. Kawan ini sepertinya masih melihat saya punya kemampuan entrepreneurship. Dalam definisi sederhana, entrepreneurship berarti kemampuan melihat dan menggapai peluang dengan mengelola sumberdaya secara efektif dan efisien. Saya langsung menawarkannya dengan beberapa ide bisnis.

Ide-ide Bisnis

Ide bisnis pertama adalah pembuatan software pengelolaan kedai kopi, terutama elemen servisnya. Hal ini karena saya suka bekerja di kedai kopi dan saya melihat sering kali saya ingin membeli sesuatu, tapi harus menuju ke kasir, melihat dan memilih menu, memesan, menunggu, lalu baru diberikan pesanan saya. Terlalu banyak proses yang harus dilalui. Sebuah aplikasi yang memberikan akun bagi pengunjung kedai kopi, mereka dapat mengisi sejumlah uang, memesan langsung dari rumah sebelum sampai ke kedai kopi, melihat menu tanpa harus khawatir membuat antrian dibelakang menunggu, dan mendapat notifikasi jika pesanan sudah siap untuk diambil. Pihak kedai kopi juga dapat mengumpulkan informasi menu apa yang paling laku, sehingga bisa merencanakan supply chain sesuai kebutuhan, memperbaiki menu favorit agar lebih enak atau dengan paket yang lebih menarik, mencatat meta-informasi dari pelanggan seperti apa kesukaannya, dimana posisi meja yang dia sukai, dan berbagai hal lainnya. Konsep yang sama dapat dikembangkan di restoran atau servis lainnya yang memiliki proses bisnis yang sama.

Ide bisnis lainnya adalah …

Apa yang kurang?

Ketika itu saya paham bahwa ide aplikasi dan programmer saja tidak cukup untuk agar bisnis ini berhasil. Ada dua hal lain yang akan sangat dibutuhkan jika ini jadi dilaksanakan; modal awal dan jaringan ke pasar.

Untuk jaringan ke pasar saya punya kenalan, seorang pemilik kedai kopi yang sudah satu dua kali saya konfirmasi kalau dia tertarik dengan software pengelolaan kedai kopi. Apalagi jika dia hanya perlu membayar beberapa ratus ribu saja per bulan. Namun tidak ada garansi orang ini akan bergabung setelah softwarenya selesai. Ini merupakan resiko yang harus ditanggung oleh seorang programmer. Setelah ide dituangkan dalam bentuk sebuah software, tetapi pasar tidak menerima.



Tidak Berjalan

Ide ini mati sebelum berkembang. Hal pertama yang kawan saya katakan, “oo, itu software yang dipakai di salah satu kedai kopi di bandung”. Saya paham, maksudnya ini bukan ide baru. Namun, bukan ide yang paling penting dari sebuah bisnis, tapi tim dan eksekusinya. Pembicaraan terhenti karena kesibukan masing-masing. Namun sesekali dalam 1-2 tahun dari pembicaan pertama kami, ide ini terus menerus terngiang di dalam pikiran saya.